HOME

Kamis, September 26, 2013

Ancaman Tambang Di Sektor Hutan

Ancaman Tambang Di Sektor Hutan


Hutan adalah kawasan yang mempunyai ciri khas tertentu, dan fungsi khusus, untuk penyangga air dan sebagai pelindung ekosistem yang ada di dalamnya. Hutan sebagai benteng terakhir dalam penyelamatan keanekaragaman hayati, yang hingga saat ini telah mengalami degradasi dan deforestasi, pun selanjutnya akan mengancam mahkluk hidup lainnya.
Ada beberapa faktor terjadinya degradasi hutan: Pertama: penebangan hutan secara illegal logging, yang tanpa pengawasan dari pihak terkait, dan bahkan ada konspirasi bisnis, yang melibatkan individu-individu tertentu. Kedua: pembukaan lahan perkebunan berskala besar, perkebunan kelapa sawit adalah salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan. Ketiga: Alihfungsi kawasan Hutan ke sektor pertambangan, yang akhir-akhir ini semakin marak terjadi.
Sejak hutan alam di Indonesia mulai di eksploitasi  secara besar-besaran di akhir tahun 1960-an, selama hampir dua setengah dekade, hasil hutan–terutama kayu–tercatat sebagai penyumbang devisa terbesar kedua setelah minyak bumi. Ironisnya, walaupun devisa yang dihasilkan dari hutan saat ini nilainya milyaran US dollar, masyarakat yang tinggal  di dalam dan di sekitar hutan tetap miskin. Mereka justru cenderung menjadi semakin miskin karena hutan tempatnya bergantung hidup kian rusak. Sebagai akibatnya, degradasi hutan terjadi dimana-mana dan produksi kayu hutan alam pun terus menurun, terutama sejak sekitar pertengahan tahun 1990-an (FWI/GFW, 2001)
Banyak presepsi dan pendapat tentang penyebab kerusakan hutan oleh beberapa kalangan rimbawan. Ada yang berpendapat, bahwa kerusakan hutan adalah akibat kurangnya kombinasi antara manusia, kebijakan pemerintah, sistem ekonomi politik yang penuh nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme. Atau kerusakan hutan dapat di sebabkan oleh perbuatan-perbuatan manusia (anthroposeres) dan atau oleh gangguan alam itu sendiri. Di lain pihak, beberapa masyarakat sekitar hutan yang selama bertahun-tahun hidup dalam hubungan harmonisasi dengan hutan. Dan hasil hutan tidak dapat memanfaatkan sumber daya alam ini karena, pada sisi lain terdapat segelintir orang yang memonopoli pengusahaan hutan tersebut 
Menurut Marx, ada dua perspektif hubungan antara manusia dan alam yang sering di perhadapkan: antroposentrisme menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta. Lingkungan dalam konteks ini hanya sebagai instrumental, obyek eksploitasi dan eksperimen manusia. Ekosentrisme menuntut suatu etika yang tak berpusat pada manusia, tapi pada makhluk hidup seluruhnya dalam upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup (Foster: 2013).
Basis pembangunan ekonomi dapat di ilustrasikan sebagai persekutuan bisnis. Investasi industri pertambangan, hanya di kuasai oleh segelintir orang. Sementara, ribuan bahkan jutaan orang yang miskin melarat. Ahmad Erani pernah mengatakan, bahwa sejak awal, praktek dunia bisnis di Indonesia memang telah di rancang sangat monopolistis, dan tentunya hanya menguntungkan sedikit pihak. Pola pemikiran seperti itu, di pandang sebagai jalan paling mudah untuk menggerakkan kegiatan ekonomi daripada melibatkan sekian banyak pemain dengan kemampuan yang berlainan. Dalam literatur ekonomi politik, perilaku semacam itu di sebut dengan istilah redistributive combines, yakni regulasi di buat sebagai instrumen untuk bagi-bagi “kue” ekonomi di lingkaran elite kekuasaan. 
Persekongkolan antara perusahaan dan pemerintah pun tak bisa terhindarkan. Sehingga, menyebabkan penderitaan rakyat yang terkena dampak. Itulah kenyataan yang terjadi sekarang ini. Dengan iming-iming dan janji-janji manis  kesejahteraan untuk rakyat, pemerintah dengan tega menjual rahim bumi pertiwi ini ke tangan para pemodal asing yang mengeruk dan menjarah habis-habisan harta kekayaan yang ada di dalamnya. Para pemodal asing (melalui perusahaan-perusahaan besar nasional dan internasional) menyerbu masuk dengan hanya satu prinsip: keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Prinsip para pemodal asing ini rupanya sangat cocok dengan prinsip yang amat latah digunakan oleh para penguasa negeri ini, yakni jual cepat, jual murah, dan jual habis. Sehingga, yang tertinggal adalah manusia-manusia Indonesia yang terpinggirkan, sakit, kekurangan gizi, miskin, di atas tanah sendiri yang sudah dikeruk tanpa ampun (Kompasiana, 2011).
Karakter industri tambang dewasa ini bersifat oligopoli, di kuasai hanya segelintir korporasi global yang menyerap keuntungan sebesar-besarnya dengan pola mekanisme integrasi vertikal. Dengan menggunakan Ground down teori, aliran penerimaan kekayaan dari sektor pertambangan bisa disebutkan sebagai berikut; Pertama, Kepada pemerintah melalui pajak (tax); Kedua, kepada tenaga kerja melalui upah buruh; Ketiga, kepada bank jika di bangun melalui pinjaman; keempat, menjadi provit bagi korporasi tambang.
Pada umumnya, perusahaan pertambangan, baik itu perusahaan minyak maupun mineral. Menimbulkan berbagai macam dampak yang begitu luas. Jika kita sering mendengar, melihat dan, membaca dari berbagai aktifitas perusahaan tambang di Indonesia saat ini, maka yang kita temukan adalah: Kemiskinan, kerusakan lingkungan, rawan penyakit, hilangnya lapangan pekerjaan, perampasan tanah, menghancurkan gunung, hutan, laut, sungai, dan penduduk kampung. Daya destruktifnya, baik terhadap lingkungan alam maupun kehidupan sosial masyarakat, dinilai terlampau berisiko. Regulasi yang dibuat, hanya dianggap sebagai perhiasan, dan disimpan dalam lemari yang terkunci rapi. Sehingga, hutan yang menjadi sasaran utama—pun rakyat yang tinggal di sekitar hutan.
Magma lain yang lebih dashyat, membuat kegaduhan, adalah konflik. Dewasa ini, konflik yang berbasis atas Sumber Daya Alam semakin massif. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, dalam tiga tahun konflik agraria terus meningkat. Pada tahun 2012, terjadi 198 kasus, dengan areal konflik 963.411 hektar, melibatkan 141.915 keluarga. Angka ini, melesat dari 2011, sebanyak 163 kasus, dengan 22 warga tewas dan 2010, sebanyak 106 konflik.